Namaku
Untung. Untung titik. Usia sepuluh tahun. Entah kenapa orang tuaku memberi nama
itu padaku. Untung, ya untung, mungkin mereka ingin aku menjadi orang yang
beruntung. Aneh ya, namaku untung tapi nasibku sama sekali tidak beruntung. Aku
dilahirkan dalam keadaan cacat, dalam keluarga miskin yang pekerjaan utamanya
hanyalah sebagai pencari kayu bakar di lereng gunung merapi. Ibuku bernama
Latif sedang Bapakku bernama Yakin. Bapak meninggalkan aku delapan tahun yang
lalu, kata Ibu, Bapak pergi ke Jakarta untuk mencari uang. Tapi sampai saat ini
Bapak tidak pernah kembali. Kata etek Irni, Bapak pergi karna malu punya anak
cacat seperti aku. Itu kata Etek Irni tetanggaku yang terkenal cerewet itu.
Tapi aku tidak percaya, Bapak pergi untuk mencari uang dan Bapak tidak pulang
karena Bapak belum mendapatkan uang. Bapak sangat sayang padaku, makanya Bapak
pergi merantau ke Jakarta. Itu kata Ibu, dan aku percaya dengan apa yang Ibu
katakan. Ibu tidak pernah berbohong padaku, Ibu sangat memanjakanku. Sepulang menjual
kayu bakar di pasar, Ibu selalu membawakan aku ojeg, itu makanan kesukaanku. Tapi
sekarang aku tak bisa lagi menunggu Ibu di gubuk kami bersama Mimi, kucing
kesayanganku. Ibu sudah tidur, iya tidur dengan tenang di dalam tanah, mati.
Aku sedih sekali ditinggal Ibu, mungkin sesedih Mimi waktu Ibunya kami buang ke
pasar karena terlalu sering hamil. Malam-malam jadi semakin sunyi dan sepi, aku
hanya berdua di gubuk ini bersama Mimi. Alhamdulillah, ada tetangga yang
berbaik hati sering mengirimi kami makanan. Mengingat Ibu, aku jadi teringat
bahwa aku tidak sebatang kara di dunia ini. Aku masih punya Bapak, Yakin
namanya tinggal di Jakarta. Dan akhirnya dengan meumpang truk aku menuju ke
sana. Mimi kutitipkan pada Etek Irni. Kalau Bapak sudah ketemu, pasti Mimi akan
aku bawa ke Jakarta.
***