Siang
ini tampaknya matahari enggan untuk menyapa bumi. sekolahku telah selesai
beberapa menit yang lalu. Perlahan ku kendarai mobil merahku menjauhi kemacetan. Aku tak mengerti
mengapa tempat ini yang kutuju.
Gundukan tanah merah yang telah mengering,
batu nisan nan kaku, bunga kamboja putih ramah menyapaku. Kuucapkan salam
kepada semua yang ada di sekitarku. Aku duduk membersihkan makam adikku, Mei.
Mei kembali melintas di benakku. Mei yang lucu, periang, rajin. Mei yang tak
pernah memperlihatkan wajah sendunya. Mei dengan rambut panjangnya yang terurai
indah, Mei yang divonis menderita kanker otak. Mei yang,,, tak terasa air
mataku mengalir di pipi.
Aku ingat saat dokter mengatakan
bahwa sisa umurnya hanya sekitar 6 bulan, hanya lafadz istighfar yang keluar
dari mulutnya. Bahkan saat mama menangis mendengar kabar itu, Meilah yang
menghiburnya. Aku menangis kagum pada ketegarannya.
Kukendarai mobilku menjauhi teriknya
sinar matahari. Tak kuhiraukan kebisingan di sekitarku, yang terpikir olehku
hanyalah pulang dan beristirahat. Kurebahkan diriku di atas tempat tidur
biruku. Lega rasanya. Semilir angin membuai diriku, membawa ingatanku kembali
ke malam itu, malam terakhirku bersama Mei.