Recent Post

Senin, 31 Desember 2012

IMPIAN TERAKHIR



Siang ini tampaknya matahari enggan untuk menyapa bumi. sekolahku telah selesai beberapa menit yang lalu. Perlahan ku kendarai mobil  merahku menjauhi kemacetan. Aku tak mengerti mengapa tempat ini yang kutuju.
            Gundukan tanah merah yang telah mengering, batu nisan nan kaku, bunga kamboja putih ramah menyapaku. Kuucapkan salam kepada semua yang ada di sekitarku. Aku duduk membersihkan makam adikku, Mei. Mei kembali melintas di benakku. Mei yang lucu, periang, rajin. Mei yang tak pernah memperlihatkan wajah sendunya. Mei dengan rambut panjangnya yang terurai indah, Mei yang divonis menderita kanker otak. Mei yang,,, tak terasa air mataku mengalir di pipi.
            Aku ingat saat dokter mengatakan bahwa sisa umurnya hanya sekitar 6 bulan, hanya lafadz istighfar yang keluar dari mulutnya. Bahkan saat mama menangis mendengar kabar itu, Meilah yang menghiburnya. Aku menangis kagum pada ketegarannya.


            Kukendarai mobilku menjauhi teriknya sinar matahari. Tak kuhiraukan kebisingan di sekitarku, yang terpikir olehku hanyalah pulang dan beristirahat. Kurebahkan diriku di atas tempat tidur biruku. Lega rasanya. Semilir angin membuai diriku, membawa ingatanku kembali ke malam itu, malam terakhirku bersama Mei.

            Aku sedang belajar untuk menghadapi UTS ketika Mei mengetuk pintu kamarku. “Aya…Mei mengganggu tidak?” Tanya Mei. “enggak kok Mei” aku menggeleng. Kemudian ia masuk membawa dua buah cangkir susu dan setoples astor kesukaanku. Aku tetap membaca ketika ia meletakkan baki itu di sampingku. Ia duduk di atas tempat titdurku, diam. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh setelah sesaat aku mendengar helaan nafasnya.
            “Ada apa Mei?” tanyaku.
            Ia menggeleng. Tatapannya yang kosong menembus dadaku. Aku heran, tak biasanya ia begitu. Aku kembali bertanya, “Ada apa Mei?” Ia tetap diam dan bertanya “Besok Aya UTS?”. Aku mengangguk. Kuambil secangkir susu dan meminumnya. Aku beranjak dan menghampirinya. Ia tersenyum jahil dan melemparkan sebuah bantal ke arahku. Aku terkejut sekaligus senang. Mei sudah tidak murung lagi. Kami bergelut berlempar-lemparan bantal. Tanpa ku sadari sebuah lemparan bantalku tepat mengenai wajahnya. Ia terdiam, dan perang bantalpun usai.
            Aku terkejut. Dengan penuh kecemasan aku bertanya, “Sakit Mei?” ia menggeleng dan memelukku erat dan lama. Ia menangis tersedu-sedu. Itu terakhir kalinya aku melihat ia menangis. “Mei tidak ingin meninggal karena kanker otak,” dalam tangis ia berkata, “Mei ingin meninggal seperti orang lain.” Aku terkejut mendengarnya. Aku diam tak tahu harus bagaimana.
            “Mei tidak ingin orang-orang mengingat Mei sebagai seorang penderita kanker otak.” “Mei..” Perkataannya terhenti oleh gelengan kepalaku. Kutempelkan jari telunjukku di atas bibirnya, “Mei….Mei ingat tidak perkataan Aya? Segala sesuatu yang terjadi, itulah yang terbaik”.
            “Mei tahu itu, tapi Mei…” Mei mencoba berkata tapi langsung kupotong. “Ingat Mei, yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, dan yang buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah. Lebih baik Mei istirahat sekarang.” Kutepuk punggungnya dengan lembut.
            Ia memandangku dan berkata, “Terima kasih Ay,,,, Tapi…,” Ia tak melanjutkan perkataannya. “Mei ke kamar dulu yah,”. Kemudian ia menghampiri dan mencium pipiku. “Selamat menghafal.” Katanya sendu.
            Baik-baik ya Mei.” Ujarku. Ia mengangguk dan keluar dari kamarku. Kuambil astor dan memakannya. Terpikir olehku, mungkinkah itu pertanda bahwa ia akan meninggalkanku.
                                                                        ***
            Aku sedang berada di perpus ketika handphoneku berbunyi. “Cepat pulang!” pesan dari Mei. Kukendarai mobilku menjauhi kampus. Tepat di depan pagar rumah, Mei telah siap dengan dua buah kardus bawaannya menungguku. Kubukakan pintu untuknya. Ia tersenyum dan memberiku salam. Ku balas salamnya dan kamipun pergi meninggalkan rumah.
            “ke tempat biasa ya Mei?” aku bertanya. Ia mengangguk. “Mmm… tapi Mei ingin mencari suasana baru.” Ia berkata “Tapi biarlah kita ke Kasih Ibu saja.” Tak terlihat suatu keanehan pada dirinya tapi aku tetap merasakan ada sesuatu yang lain dari biasanya.
            “Mei…” aku memanggilnya
            “Mmm…” ia bergumam tanpa menoleh,
            “Ada apa?” lanjutnya.
            Aku menggeleng dan berkonsentrasi pada kemudi. Kudengar ia bergumam dan berdzikir.
            “Aya… UTS-nya sudah selesai?” tanyanya padaku. Aku mengangguk. “Alhamdulillah sudah selesai semuanya.”
            “Jadi mahasiswa itu sepertinya asyik ya Ay? Mei bisa tidak ya mengecap bangku kuliah?” kutanggapi perkataannya dengan penuh canda. “Bisa dong Mei,, Aya bisa mengantarkanmu untuk tembus kuliah di UGM, hehehe. Canda ku. Ia tersenyum simpul.
            Tak lama kemudian, kami sampai di Panti Asuhan yang selalu Mei datangi 3 bulan terakhir ini. Puluhan anak berlari kecil dan berteriak gembira ketika Mei keluar dari mobil. “Assalamualaikum.” “Walaikumsalam.” Terdengar paduan suara menjawabnya.
            Kegiatan yang kami lakukan hari ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Mei lebih banyak memberi nasehat dan wejangan pada mereka. Mata Mei tampak berkaca-kaca ketika ia memeluk anak-anak yatim itu satu persatu. Begitu erat ia memeluk mereka.
            Kami pun berpamitan dan melangkah keluar dari panti. Mei menoleh beberapa kali kearah panti. Tampak sekali ia tidak ingin berpisah dari mereka.
            “Ay,,, sepertinya ini kunjungan Mei yang terakhir.” Ia berkata ketika aku hendak menyalakan mesin mobilku. Aku diam tidak menanggapi perkataannya. “Ay… Mei ingin ke Dikma, boleh?” Mei bertanya padaku. Nada suaranya terdengar memelas.
            Aku mengangguk, Kuarahkan mobilku menuju Dikma. “Kebetulan Aya juga ada perlu di Jurusan.” Aku berkata padanya. Kuhentikan mobilku di sekitaran jalan Supratman. “Sebentar ya Mei, Aya ke jurusan dulu.” Aku berkata padanya. “Nanti Aya tunggu di mobil.”
            Ia mengangguk dan tersenyum padaku. Mei baru kusadari kenapa engkau begitu sering tersenyum padaku. Begitu sering kudapati tatapanmu kosong. Aku menyesal Mei, kenapa waktu itu aku tak menolak permintaanmu. Kenapa aku lebih tertarik ke jurusan daripada menemanimu menuju Dikma.
            Sudah sekitar lima menit aku menunggu di mobil ketika terdengar teriakan riangmu, “Ay..!” masih teringat lambaianmu. “Minuman yang ku pegang terjatuh. “Praang..!”
            Aku menoleh dan tepat saat kau menghapiriku, sebuah kijang hitam menghantam tubuhmu Mei, “Bruuakk…!”
            “Mei! Bertahanlah Mei!” aku memohon saat ia tiba di Unit Gawat Darurat. Mama, Papa bergegas datang ke Rumah Sakit ketika kukabarkan kejadian ini. Wajah mama tampak pucat, tak seulas bedakpun di wajahnya.
            Dokter Frans yang memeriksa adikku keluar dari UGD dan langsung kami dekati. “Bagaimana keadaan Mei Dok?” aku bertanya. Ia tidak menjawab dan berkata “Meiranti ingin menemui anda semua, silahkan masuk ke dalam.”
            Kami bergegas masuk ke dalam  ruangan yang penuh dengan alat kedokteran itu. Tampak olehku badan Mei yang penuh darah dan perban. Ia tersenyum pada kami semua. Kami segera menghampirinya. Kugenggam erat jemarinya saat Mei berkata “Pa, Ma,.. nanti jika Mei sudah pergi, Papa dan Mama tetap ingat Mei kan?”
            Kulihat Papa mengangguk sedangkan Mama menangis di bahu papa. “Aya jangan sedih kalau nanti Mei sudah tidak ada, Aya tidak boleh menangis. Aya janji?” Mei bertanya padaku.
            Kupaksakan untuk tersenyum dan mengangguk walau hatiku pedih tak terkira. Ia tersenyum. “Aya jaga Mama, Papa ya?” pintanya padaku, Aya juga harus berusaha menjadi wanita yang kuat. Kubisikkan kalimat Laa ilaaha illallaah di telinganya. Bibirnya bergerak perlahan. Aku terus berusaha berbisik hingga Papa menyentuh pundakku dan menggelengkan kepalanya, aku menangis dan memeluk papa. Ku lihat Mei yang sudah tak bernyawa, tampak seulas senyum di wajahnya.
            Adzan Ashar membawaku kembali ke dunia nyata. Segera kuambil wudhu dan melaksanakan sholat. Aku berdoa memohon ampunan pada Sang Pencipta. Kudoakan kedua orang tuaku dan Mei. Semoga ia bahagia disana.
            Kuucapkan selamat untukmu Mei. Impian terakhirmu telah terjabulkan.  Kau menghadap-Nya bukan sebagai seorang penderita kanker otak tapi sebagai seorang Mei yang ceria. Semoga kita bertemu kembali di sana.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar