Siang
ini tampaknya matahari enggan untuk menyapa bumi. sekolahku telah selesai
beberapa menit yang lalu. Perlahan ku kendarai mobil merahku menjauhi kemacetan. Aku tak mengerti
mengapa tempat ini yang kutuju.
Gundukan tanah merah yang telah mengering,
batu nisan nan kaku, bunga kamboja putih ramah menyapaku. Kuucapkan salam
kepada semua yang ada di sekitarku. Aku duduk membersihkan makam adikku, Mei.
Mei kembali melintas di benakku. Mei yang lucu, periang, rajin. Mei yang tak
pernah memperlihatkan wajah sendunya. Mei dengan rambut panjangnya yang terurai
indah, Mei yang divonis menderita kanker otak. Mei yang,,, tak terasa air
mataku mengalir di pipi.
Aku ingat saat dokter mengatakan
bahwa sisa umurnya hanya sekitar 6 bulan, hanya lafadz istighfar yang keluar
dari mulutnya. Bahkan saat mama menangis mendengar kabar itu, Meilah yang
menghiburnya. Aku menangis kagum pada ketegarannya.
Kukendarai mobilku menjauhi teriknya
sinar matahari. Tak kuhiraukan kebisingan di sekitarku, yang terpikir olehku
hanyalah pulang dan beristirahat. Kurebahkan diriku di atas tempat tidur
biruku. Lega rasanya. Semilir angin membuai diriku, membawa ingatanku kembali
ke malam itu, malam terakhirku bersama Mei.
Aku sedang belajar untuk menghadapi
UTS ketika Mei mengetuk pintu kamarku. “Aya…Mei mengganggu tidak?” Tanya Mei.
“enggak kok Mei” aku menggeleng. Kemudian ia masuk membawa dua buah cangkir
susu dan setoples astor kesukaanku. Aku tetap membaca ketika ia meletakkan baki
itu di sampingku. Ia duduk di atas tempat titdurku, diam. Tak sepatah kata pun
yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh setelah sesaat aku mendengar helaan
nafasnya.
“Ada apa Mei?” tanyaku.
Ia menggeleng. Tatapannya yang
kosong menembus dadaku. Aku heran, tak biasanya ia begitu. Aku kembali
bertanya, “Ada apa Mei?” Ia tetap diam dan bertanya “Besok Aya UTS?”. Aku
mengangguk. Kuambil secangkir susu dan meminumnya. Aku beranjak dan
menghampirinya. Ia tersenyum jahil dan melemparkan sebuah bantal ke arahku. Aku
terkejut sekaligus senang. Mei sudah tidak murung lagi. Kami bergelut
berlempar-lemparan bantal. Tanpa ku sadari sebuah lemparan bantalku tepat
mengenai wajahnya. Ia terdiam, dan perang bantalpun usai.
Aku terkejut. Dengan penuh kecemasan
aku bertanya, “Sakit Mei?” ia menggeleng dan memelukku erat dan lama. Ia
menangis tersedu-sedu. Itu terakhir kalinya aku melihat ia menangis. “Mei tidak
ingin meninggal karena kanker otak,” dalam tangis ia berkata, “Mei ingin
meninggal seperti orang lain.” Aku terkejut mendengarnya. Aku diam tak tahu
harus bagaimana.
“Mei tidak ingin orang-orang
mengingat Mei sebagai seorang penderita kanker otak.” “Mei..” Perkataannya
terhenti oleh gelengan kepalaku. Kutempelkan jari telunjukku di atas bibirnya,
“Mei….Mei ingat tidak perkataan Aya? Segala sesuatu yang terjadi, itulah yang
terbaik”.
“Mei tahu itu, tapi Mei…” Mei
mencoba berkata tapi langsung kupotong. “Ingat Mei, yang baik menurut kita
belum tentu baik menurut Allah, dan yang buruk menurut kita belum tentu buruk
menurut Allah. Lebih baik Mei istirahat sekarang.” Kutepuk punggungnya dengan
lembut.
Ia memandangku dan berkata, “Terima
kasih Ay,,,, Tapi…,” Ia tak melanjutkan perkataannya. “Mei ke kamar dulu yah,”.
Kemudian ia menghampiri dan mencium pipiku. “Selamat menghafal.” Katanya sendu.
Baik-baik ya Mei.” Ujarku. Ia
mengangguk dan keluar dari kamarku. Kuambil astor dan memakannya. Terpikir
olehku, mungkinkah itu pertanda bahwa ia akan meninggalkanku.
***
Aku sedang berada di perpus ketika
handphoneku berbunyi. “Cepat pulang!” pesan dari Mei. Kukendarai mobilku
menjauhi kampus. Tepat di depan pagar rumah, Mei telah siap dengan dua buah
kardus bawaannya menungguku. Kubukakan pintu untuknya. Ia tersenyum dan
memberiku salam. Ku balas salamnya dan kamipun pergi meninggalkan rumah.
“ke tempat biasa ya Mei?” aku bertanya.
Ia mengangguk. “Mmm… tapi Mei ingin mencari suasana baru.” Ia berkata “Tapi
biarlah kita ke Kasih Ibu saja.” Tak terlihat suatu keanehan pada dirinya tapi
aku tetap merasakan ada sesuatu yang lain dari biasanya.
“Mei…” aku memanggilnya
“Mmm…” ia bergumam tanpa menoleh,
“Ada apa?” lanjutnya.
Aku menggeleng dan berkonsentrasi
pada kemudi. Kudengar ia bergumam dan berdzikir.
“Aya… UTS-nya sudah selesai?”
tanyanya padaku. Aku mengangguk. “Alhamdulillah sudah selesai semuanya.”
“Jadi mahasiswa itu sepertinya asyik
ya Ay? Mei bisa tidak ya mengecap bangku kuliah?” kutanggapi perkataannya
dengan penuh canda. “Bisa dong Mei,, Aya bisa mengantarkanmu untuk tembus
kuliah di UGM, hehehe. Canda ku. Ia tersenyum simpul.
Tak lama kemudian, kami sampai di
Panti Asuhan yang selalu Mei datangi 3 bulan terakhir ini. Puluhan anak berlari
kecil dan berteriak gembira ketika Mei keluar dari mobil. “Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” Terdengar paduan suara menjawabnya.
Kegiatan yang kami lakukan hari ini
sedikit berbeda dari sebelumnya. Mei lebih banyak memberi nasehat dan wejangan
pada mereka. Mata Mei tampak berkaca-kaca ketika ia memeluk anak-anak yatim itu
satu persatu. Begitu erat ia memeluk mereka.
Kami pun berpamitan dan melangkah
keluar dari panti. Mei menoleh beberapa kali kearah panti. Tampak sekali ia
tidak ingin berpisah dari mereka.
“Ay,,, sepertinya ini kunjungan Mei
yang terakhir.” Ia berkata ketika aku hendak menyalakan mesin mobilku. Aku diam
tidak menanggapi perkataannya. “Ay… Mei ingin ke Dikma, boleh?” Mei bertanya
padaku. Nada suaranya terdengar memelas.
Aku mengangguk, Kuarahkan mobilku
menuju Dikma. “Kebetulan Aya juga ada perlu di Jurusan.” Aku berkata padanya.
Kuhentikan mobilku di sekitaran jalan Supratman. “Sebentar ya Mei, Aya ke jurusan
dulu.” Aku berkata padanya. “Nanti Aya tunggu di mobil.”
Ia mengangguk dan tersenyum padaku.
Mei baru kusadari kenapa engkau begitu sering tersenyum padaku. Begitu sering
kudapati tatapanmu kosong. Aku menyesal Mei, kenapa waktu itu aku tak menolak
permintaanmu. Kenapa aku lebih tertarik ke jurusan daripada menemanimu menuju
Dikma.
Sudah sekitar lima menit aku
menunggu di mobil ketika terdengar teriakan riangmu, “Ay..!” masih teringat
lambaianmu. “Minuman yang ku pegang terjatuh. “Praang..!”
Aku menoleh dan tepat saat kau
menghapiriku, sebuah kijang hitam menghantam tubuhmu Mei, “Bruuakk…!”
“Mei! Bertahanlah Mei!” aku memohon
saat ia tiba di Unit Gawat Darurat. Mama, Papa bergegas datang ke Rumah Sakit
ketika kukabarkan kejadian ini. Wajah mama tampak pucat, tak seulas bedakpun di
wajahnya.
Dokter Frans yang memeriksa adikku
keluar dari UGD dan langsung kami dekati. “Bagaimana keadaan Mei Dok?” aku
bertanya. Ia tidak menjawab dan berkata “Meiranti ingin menemui anda semua,
silahkan masuk ke dalam.”
Kami bergegas masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan alat kedokteran
itu. Tampak olehku badan Mei yang penuh darah dan perban. Ia tersenyum pada
kami semua. Kami segera menghampirinya. Kugenggam erat jemarinya saat Mei
berkata “Pa, Ma,.. nanti jika Mei sudah pergi, Papa dan Mama tetap ingat Mei
kan?”
Kulihat Papa mengangguk sedangkan
Mama menangis di bahu papa. “Aya jangan sedih kalau nanti Mei sudah tidak ada,
Aya tidak boleh menangis. Aya janji?” Mei bertanya padaku.
Kupaksakan untuk tersenyum dan mengangguk
walau hatiku pedih tak terkira. Ia tersenyum. “Aya jaga Mama, Papa ya?”
pintanya padaku, Aya juga harus berusaha menjadi wanita yang kuat. Kubisikkan
kalimat Laa ilaaha illallaah di telinganya. Bibirnya bergerak perlahan. Aku
terus berusaha berbisik hingga Papa menyentuh pundakku dan menggelengkan
kepalanya, aku menangis dan memeluk papa. Ku lihat Mei yang sudah tak bernyawa,
tampak seulas senyum di wajahnya.
Adzan Ashar membawaku kembali ke
dunia nyata. Segera kuambil wudhu dan melaksanakan sholat. Aku berdoa memohon
ampunan pada Sang Pencipta. Kudoakan kedua orang tuaku dan Mei. Semoga ia
bahagia disana.
Kuucapkan selamat untukmu Mei.
Impian terakhirmu telah terjabulkan. Kau
menghadap-Nya bukan sebagai seorang penderita kanker otak tapi sebagai seorang
Mei yang ceria. Semoga kita bertemu kembali di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar